QAWAID FIQHIYAH
(KAIDAH-KAIDAH
FIQH)
A.
Qawaidul Fiqhiyah
1.
Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang
kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti
aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas
(dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’
(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
“Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari pondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan
terminologi kaidah punya beberapa arti,
menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami,
mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
“Kaum yang bersifat universal (kulli) yang
diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah
dengan :
Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat
dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
“Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
“Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya
diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.”
Sedangkan menurut istilah Fiqh adalah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan
dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Jadi, dari semua uraian di atas dapat disimpulkan,
bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah : “Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah
umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak
yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa setiap
kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
2.
Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan
sesuatu dapat dilakukan di beberapa segi :
1.
Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena
kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal
sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum”
Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang
berperan marginal, diantaranya :
“Sesuatu yang dikenal secara
kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
“Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan
naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah
kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak
dihadapkan dengan furu’.
2.
Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai
pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak mempunyai pengecualian adalah
sabda Nabi Muhammad SAW. umpamanya adalah :
“Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah
dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai
pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan
oleh ulama.
3.
Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan
menjadi beberapa macam, yaitu :
1)
Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah
fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
“Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah di atas merupakan kaidah kunci, karena
pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari
kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
2)
Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui
oleh seluruh aliran hukum Islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
a.
“Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
b.
“Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
c.
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
d.
“Kerusakan / kemafsadatan itu harus dihilangkan”
e.
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum”
3)
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum
sunni adalah “majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat diabad
XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
3.
Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
a.
Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang
praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang
kembali kepada satu hukum yang sama.
b.
Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang).
Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
c.
Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang
terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan
dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan
masalah fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
B.
Qawaid Assasiyah dan Kaidah-kaidah yang
Berkaitan dengannya
1.
Pendahuluan
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan
pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah
asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhab tanpa diperselisihkan
kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
1.
Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
2.
Kemudaratan itu harus dihilangkan
3.
Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4.
Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5.
Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala
kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang
merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap
diakui.
2.
Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah
asasi tersebut sebagai berikut :
a.
Kaidah asasi pertama “segala perkara tergantung
kepada niatnya”
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat
ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah
dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
Contoh aplikasi:
1.
Dalam sholat tidak disyaratkan niat menyebut jumlah
rakaat, maka bila seorang muslim berniat melaksanakan sholat magrib 4 rakaat,
tetapi ia tetap dalam melaksanakan tiga rakaat, maka sholatnya tetap sah.
2.
Seseorang yang akan melaksanakan shalat zhuhur, tapi
niatnya menunaikan sholat ashar, maka sholatnya tidak sah.
3.
Seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan
seseorang, dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad
saja.
b.
Kaidah asasi kedua “keyakinan tisak bisa dihilangkan
dengan adanya keraguan”
Qaidah ini, jika diteliti secara seksama erat
kaitannya dengan masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hokum dalam
syariat Islam.
Suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang,
kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti (qath’i), bukan semata-mat oleh
argumen yang hanya bernilai saksi/tidak qath’i.
Contoh aplikasi:
1.
Apabila seseorang sedang melakukan sholat ashar,
kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah
yang lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunahkan sujud
sahwi.
2.
Seorang musafir yang membaca takbirotul ihram
(bermakmum) di belakang orang yang tidak diketahui apakah dia seorang musafir atau
bukan, maka qhasarnya tidak memenuhi syarat.
3.
Seseorang yang dalam perjalanan, kemudian ragu apakah
sudah sampai di negerinya atau belum, maka tidak boleh mengambil rukhsah.
c.
Kaidah asasi ketiga “kesulitan mendatangkan
kemudahan”
Makna dari kaidah di atas adalah bahwa hukum-hukum
yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka
syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.
Contoh aplikasi:
1.
Bolehnya buka puasa ketika bepergian atau ketika sakit.
2.
Dibolehkannya tidak ada ijab qabul dalam jual
barang-barang yang tidak berharga.
3.
Tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun
alasannya, tapi diharuskan untuk menghindarinya.
d.
Kaidah asasi keempat “kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid
al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan
kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya. Dengan kata lain, qaidah ini
menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
Adapun yang berkaitan dengan ketentuan Allah, sehingga kerusakan itu menimpa
seseorang, kedudukannya menjadi lain, bahkan bisa dianggap sebagai bagian dari
keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah swt.
Contoh aplikasi:
1.
Dibolehkannya memakan daging babi ketika kelaparan.
2.
Ketika memakan makanan yang dibolehkan karena madarat,
tidak boleh sampai kenyang, tapi sekedarnya saja.
3.
Tidak boleh membunuh anaknya karena alasan kesulitan
ekonomi, dan lain-lain.
e.
Kaidah asasi kelima “adat kebiasaan dapat dijadikan
(pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah di atas mencakup hal yang
penting, yaitu : di dalam adat ada unsur berulang-ulang dilakukan, yang dikenal
sebagai sesuatu yang baik.
Contoh aplikasi:
1.
Mereka yang mengajarkan al-Qur’an boleh menerima gaji,
hal itu antara lain agar Al-Qur’an tetap eksis di kalangan umat Islam.
2.
Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas
karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat) maka
ulama membolehkannya.
DAFTAR PUSTAKA
kaidah_Fiqih
Syafe’i,
Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung. Pustaka Setia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan ke Khadirat Allah swt., karena atas nikmat-Nya,
penyusunan makalah ini bisa dapat diselesaikan, meskipun masih banyak
kekurangannya.
Penyusun bersyukur karena tugas makalah ini bisa dapat diselesaikan. Makalah
ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah “Ushul Fiqh”. Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada dosen pemimbing yang telah membantu dalam
memberikan pengarahan, juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Disadari bahwa banyak sekali kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka
penyusun memohon kritik dan saran yang konstruktif guna perbaikan di masa yang
akan datang. Besar harapan penyusun semoga makalah ini bisa bermanfaat.
Lempuing, Juni 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER........................................................................................................... i
KATA
PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR
ISI...................................................................................................
iii
QAWAID FIQHIYAH
A.
Qawaidul Fiqhiyah................................................................................... 1
1.
Pengertian Qawaid Fiqhiyah................................................................ 1
2.
Pembagian Kaidah Fiqh........................................................................ 2
3.
Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh.......................................... 3
B.
Qawaid Assasiyah dan Kaidah-kaidah yang
Berkaitan dengannya.... 4
1.
Pendahuluan.........................................................................................
4
2.
Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi).......................................... 4